Pages

Tamak itu Membanggakan

Kebingungan melanda pikiran saya belakangan. Sungguh ini membingungkan, karena dari sekian banyak bacaan, kesimpulannya bahwa hidup ini sia-sia.

Aneh, menurut saya.

Jika memang hidup ini sia-sia, mengapa kita berlomba untuk tidak menjadi sia-sia? Paham gak? Jadi seperti kita selalu rela bersaing, bahkan sampai menjatuhkan orang lain, padahal semuanya itu sia-sia. Mengapa kita begitu tamak untuk menjadi sia-sia? Dan rata-rata manusia, menganggap itu suatu perjuangan.

pinimg.com


Kebanyakan orang, menurut survey kecil-kecilan, mengaku perlu berjuang untuk tidak bertahan di satu titik. Selain itu juga ada yang bilang, berjuang untuk membahagiakan orang terkasih. Juga berjuang untuk membuktikan bahwa mimpi kita bisa diraih. Tapi jika semua itu terpenuhi? Apa masih ada tujuan lainnya?

Walau hampir sangat tidak mungkin untuk meraih semua mimpi, paling tidak kita bisa memberi toleransi untuk diri kita sendiri. Manusia mampu menghibur diri ketika mimpi gagal diraih. Mungkin dengan mencari jalan lain atau mencoba lagi, yang pada akhirnya memuaskan juga—tentunya dibantu toleransi tadi.

Ilusi toleransi itu seperti: “Ah tidak mengapa, yang penting saya bisa sekolah,” atau “Ah bukan masalah, terpenting dia tidak berak di celana,”. Padahal juga tujuannya bukan hanya itu, kita selalu ingin semuanya berjalan sempurna.

Dan, hal itu lah yang menurut saya cukup memuaskan kebingungan saya. Jadi, manusia itu sebenarnya hanya lemah untuk memuaskan dirinya, namun punya ilusi toleransi dan rasa tidak puas untuk menyempurnakan atau mencari kebahagiaan lainnya. Padahal pada intinya, manusia hanya berjalan di satu tempat seperti tikus yang berlari di dalam roda berputar-- sia-sia.

Raditya Dika, dalam buku “radikus makankakus” mengaku kebahagiaan sementaranya ialah membahagiakan orang tua. Dia menegaskan kata “sementara”. Jadi dia mengakui bahwa perjuangannya hanya untuk mebahagiakan orang tua pada masa itu. Sementara di masa lainnya, dia masih belum tahu.

Jadi itulah arti berjuang menurutnya, yang mungkin orang akan menganggap perjuangannya mulia karena untuk orang tuanya. Orang menganggap dia tidak egois karena memikirkan kebahagiaan orang tuanya.

Tapi bagi saya berbeda

Menurut saya dia ingin memuaskan hasratnya melihat orang tuanya bahagia, itu saja. Semua yang dia lakukan untuk memuaskan rasa bangganya karena telah membahagiakan orang tuanya. Jadi pada intinya dan pada akhirnya kita berjuang untuk diri sendiri. Semua yang kita lakukan sebenarnya untuk memuaskan diri sendiri.

Saya pribadi berjuang untuk bebas

Bagi saya kebebasan adalah hal terbaik dalam hidup. Terutama bagi saya, kebebasan dari kemiskinan, kebebasan dari aturan tidak masuk akal, dan semua hal yang menghambat tindakan kreativitas (seperti menulis pendapat pun dilarang).

Maka kurang lebih saya akan berjuang untuk kebebasan-kebebasan itu. Tentunya dengan bantuan ilusi toleransi dan hasrat tinggi mencari pijakan lain untuk mencapai kebebasan itu, tidak instan, tapi sebisa mungkin penuh pertimbangan.

Walaupun saya tahu semua itu sia-sia. Tapi intinya saya hanya ingin ego saya itu terpenuhi.

Terlihat tamak? Coba selidiki diri Anda, apakah kita sama tamaknya? Semoga argumen lemah tidak membimbing hidup Anda terlalu lama. Merasa baik bukan orang baik.

Jadi untuk meredam “semua itu sia-sia” ialah dengan saya mengakui ketamakan saya. Hal itu yang membuat saya bergerak untuk berjuang, bahkan untuk berbuat kebaikan – menurut agama bahkan sosial. So, saya tamak dan saya bangga.


Sumber: relatif.us (my old blog)

Redaksi

Menulis adalah cara saya mencari kebenaran yang tak selalu saya anggap kebenaran.

No comments:

Post a Comment